LOVE STORY
Menemukan
apa yang diimpikan dari dalam lubuk hati yang paling dalam membuatku bahagia.
Sejak kecilku penuh liku, pehatian kepada aku dan saudaraku berjalan apa
adanya. Bahkan ayah sendiri sering mengingkan anak-anaknya tidak perlu
pendidikan tinggi-tinggi. Cukup sekolah dasar. Sekolah tinggi juga sama saja
jadi pekerja. Lebih baik melakukan pekerjaan yang menghasilkan terutama
membantu beban ekonomi keluarga.
Keluargaku
sebenarnya tidak miskin-miskin sekali. Mungkin tergolong keluarga berada di
desa ini. Delapan bersaudara, kakak-kakakku semua tamat sekolah dasar saja.
Mereka menurut apa yang dinasehatkan ayah. Syukur adikku lulus SMA. Ia sekarang
menjadi pejabat desa. Sekarang ia menjadi keluarga terpandang, alias mampan.
Meskipun dulu, sayalah yang mengajak adikku melanjutkan SMP ke Yogyakarta.
Nekad,
watak saya ini, hingga ke Yogyakarta tanpa pengetahuan, bekal sedikitpun.
Hanya mengikut teman. Ia tinggal
ditempat orang dan melanjutkan di Madrasah Masithah Yogyakarta. Sekolah ini sangat strategis, karena di tengah kota, di Jln.
Achmad Dahlan, diperempatan jalan. Sekolah masuk sore. Tentu, teman saya ini
pagi-pagi mengerjakan tugas sehari-hari. Markun, ia seorang yang semangat dan
pekerja keras. Maaf, setelah sampai di Yogyakarta, saya sangat sulit berjumpa
dengan dia.
Setiba di
Yogya saya mencari seorang mahasiswa UPN
Veteran Yogyakarta yang pernah penelitian di desa saya. Ia adalah Endang. Ia
tinggal di kos khusus perempuan. Entah, dimana ?saya lupa. Yogyakarta yang
ramah, dengan bapak tukang becak yang mengantarkan saya ke kos tersebut. Allahu
akbar terdengar adzan maghrib. Saya ketemu dengan mbak Endang. Saya ceriterakan
semua apa yang ada dalam benak saya tumpah ruah, bingung. Saya lihat raut
wajahnya, sepertinya bingung. Wah, ….
Begitu
selesai saya mengerjakan shalat maghrib. Terdengar bunyi motor berhenti di
depan rumah. Assalamu’alaikum, ia berdiri di depan pintu. Kami serentak
menjawab, wa’alikum salam. Hitam, besar, berkaca mata, berewok, melempar senyum
menyapa dengan mengulurkan tangan Gondo, ucapnya. Tidak seberapa lama
berbincang. Saya diajak dia membonceng motor honda 70 berwarna merah.
Mengelilingi kota yogyakarta, berhenti di lesehan gudeg yogya. Kemudian, kami makan malam bersama sambil berceritera.
Sedang, saya sendiri baru kali ini makan
gudeg Yogya, enaak tenan.
Pukul
09.30, kami tiba di Gang Parkit no. 24B, diperempatan Gedongkuning, dibelakang
warung. Ternyata, markas TMS07 Yogya, Sekretariat pecinta alam. Saya tinggal di
rumah ini bersama tiga mahasiswa UPN Veteran. Gondo, Musa dan Rudy, mereka
masing-masing berlainan jurusan. Mas Gondo kuliah di program studi Teknik
Perminyakan, Mas Musa kuliah di program studi Teknik Geologi, sedang Mas Rudy
kuliah pada program studi Teknik Kimia.
Karena
keterbatasan pengetahuan, pilihan sekolah yang saya minta adalah SPG dan PGA.
Kami seharian putar-putar Yogya mencari sekolah ditemani Mas Musa, Akhirnya,
setelah mendekati waktu dzuhur kami menemukan sekolah di jalan Magelang km 4.
Saya mendaftar di sekolah ini. Saya mengikuti prosedur mendaftar, tes, lulus,
kemudian, saya sah menjadi siswa PGAN Yogyakarta kelas I D.
Bayangkan,
dari Gedongkuning sampai ke PGAN di Jln. Magelang sangat jauh, ditempuh melalui
sepeda mini, dipinjami oleh Mbak Peni-adiknya Mas Gondo. Kugayuh terus bersemangat
menuju ke sekolah. Saya tak merasa lelah sedikitpun. Saya melihat masa depan.
Saya melihat tantangan, kugayuh-kugayuh sepeda itu, terus, sesekali rantai
hingga putus. Saya menuntun sepeda sejauh 4-5 km. Tetapi tak pernah merasa
letih. Berangkat pukul 06.00, pulang pukul 15.00.
Semester
awal saya masih belajar apa adanya, belum menemukan cara belajar yang baik.
Saya sangat asyik menikmati perjalananku ke sekolah. Belajar dan mengerjakan
tugas saya kerjakan dengan penuh semangat. Bahkan aktif di organisasi dan
beberapa ekstrakurikuler. Tulisan-tulisan saya sering terpajang di papan
mading. Balada
siBodong, ingat betul tulisan ini yang terpampang di mading. Prestasi akademik,
masih masuk 10 besar. Besama teman di sie madding OSIS saya membuat majalah pelajar.
Majalah Muntasyirul Ulum terbit setiap 4 bulan.
Beberapa tulisan pernah saya tulis disana. Kadang, saya pulang dah larut
sore. Bahasa Inggris 3 hari dalam seminggu saya tidak pernah absen. Pencak
silat sinar putih sekali dalam seminggu. Belum kegiatan keislaman yang padat.
Mengisi ceramah pengajian di radio ARma11. Tapi saya menyadari keterbatasan
yang dihadapi. Disamping itu saya harus mencukupi hidup saya dengan menjadi
loper koran. Setiap menjelang maghrib sampai isya saya mengantar koran kepada
pelanggan di sekitar Gedong Kuning. Lumayan, cukup untuk kebutuhan makan
sehari-hari. Ada peristiwa yang senantiasa saya ingat, ketika saya mengantar
koran, seorang pelanggan Pak Burhan sering mengajak saya duduk dan bertanya
tentang diri saya, ia nampak merasa simpati apa yang saya lakukan, ia sering
memberi saya makan malam.
Bukan
sekedar loper koran, bada’ isya saya berjualan
bensin, rokok dan makanan kecil, kios kecil itu pemberian Mas Gondo,
melanjutkan usahanya. Kios tersebut di Jalan Kusumanegara dekat kebun binatang
Gembiraloka. Sepeda buntut harga Rp 19.000,- hasil tabungan sebagai loper
koran. Bahkan yang paling menggembirakan saya, dalam rangka hari ulang tahun
harian suara merdeka, saya terpilih loper koran yang mendapatkan beasiswa Rp
120.000. Uang tersebut sangat berharga
hingga saya selesai sekolah, malah menjadi bekal hingga kuliah.
Yang
membuatku
Mas Gondo
sebutan akrabnya, mahasiswa teknik perminyakan UPN Veteran. Tinggi, besar, berkacamata, berewok (jambang sampai
kemuka subur dan lebat). Ia sering mengisi otak saya yang kosong. Kerja keras,
pemikiran kedepan terdengar ditelinga saya. Ia termasuk mahasiswa yang idealis
sulit untuk dipengaruhi. Pemikiran-pemikiran tentang lingkungan dan
pemberdayaan masyarakat menjadi focus yang serius. Ia aktif di LSM lingkungan
hidup. Meskipun kadang saya sendiri tidak paham apa yang dimauinya. Sebenarnya dialah
yang membentuk karakter bekerja dan berfikir. Pelajaran pertama bahwa menjadi
orang yang sukses adalah orang yang bermanfaat bagi semua, tidak berbuat
sesuatu yang sia-sia.
Mas Musa,
secara fisik ia adalah yang sempurna, kulit putih, tinggi, berkumis, cakep. Mahasiswa teknik geologi UPN Veteran
Yogyakarta. Ia termasuk motivator hebat, dialah yang membuka mata saya
lebar-lebar untuk menghadapi hidup. Gambaran tepat seperti Mario Teguh Golden
Ways. Bersama dia saya membuka kios di lantai III pasar Beringharjo Yogyakarta
selama 1 tahun. Teknik berdagang dalam usaha ini sungguh masih amatir, selama
setahun tidak banyak hasil yang di dapat. Sedang saya termasuk mahasiswa cukup
padat kegiatan, pagi kuliah, siang ke pasar/toko, sore mengajar door to door,
pengajian, aktiv dikegiatan mahasiswa yaitu IMM dan HMI. Kesemua harus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup agar segera cepat selesai kuliahnya.
Mas Musa orang yang saya kagumi, disamping motivasinya, juga finansialnya tidak
terhitung membantu kebutuhan hidup saya. Pelajaran kedua bahwa lebih baik banyak
bekerja meskipun gagal dari pada hanya berbicara.(BERSAMBUNG)