By ZUKRA_SMPN3PPU | At 18.46 | Label : | 0 Comments
MUSIK ANTARA TIDAK, BUTUH
Musik sudah bagian
hidup kita. Hampir-hampir kita tidak
bisa lepas dari musik. Diskusi tentang musik menjadi menarik. Hampir semua
kalangan mendengarkan musik baik fakor
disengaja atau bukan. Kita sepertinya tidak bisa lepas dari musik. Ragam
musik bermacam-macam dari ragam tradisional, klasik, rok, dangdut, modernn dan
lain-lain.
Para ulama berbeda
pendapat berkaitan dengan musik. Ada yang membolehkan, ada juga yang mengharamkannya.
1. Pendapat
yang mengaharamkan musik
Menurut al-Gazali, para ulama berbeda pendapat.
Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafi’i, Malik, Abu
Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram. Seperti kata
Imam Syafi’i, ”Menyanyi hukumnya makruh dan menyerupai kebatilan. Barang
siapa sering bernyanyi maka tergolong safeh (orang bodoh). Karena itu,
syahadah-nya (kesaksiannya) ditolak”.
DR Wahbah
mengatakan bahwa yang masyhur didalam madzhab yang empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) adalah mengharamkan menggunaan alat-alat untuk menyanyi,
seperti : lute, drum, seruling, rebab dan yang lainnya termasuk memetik gitar,
flute, klarinet dan yang lainnya.
Didalam
mengharamkan musik ini, mereka juga menggunakan dalil dari Al Qur’an ;
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya :
“dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman : 6)
Para ulama
Syafi’i dan Hambali memakruhkan alat pukul yang terbuat dari dahan pohon yang
menjadikan nyanyiannya semakin ramai dan nyanyian itu tidak akan ramai apabila
alat itu digunakan sendirian. Alat itu menyertai nyanyian sehingga hukumnya
adalah hukum nyanyian, yaitu makruh apabila digabungkan dengan sesuatu yang
haram atau markruh seperti tepuk tangan, nyanyian, tarian dan apabila tidak ada
hal-hal demikian maka ia tidaklah makruh karena ia bukanlah alat musik…
Dengan
pendapat tersebut. Pertanyaannya, seni musik apakah alat musik, bunyinya atau
syairnya yang haram. Apa bedanya bunyi gitar dengan akapela (suara manusia).
2. Pendapat
yang membolehkan musik
Imam Malik,
Zhohiriyah dan sekelompok orang-orang sufi membolehkan mendengarkan musik
walaupun dengan menggunakan alat pukul dari kayu dan rotan, ini adalah pendapat
sekelompok sahabat, seperti Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin
Zubeir, Muawiyah, Amr bin ‘Ash dan yang lainnya serta sekelompok tabi’in
seperti Sa’id bin Musayyib. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2664 –
2665)
Syeikh
Mahmud Syaltut mengatakan didalam fatawanya tentang belajar alat musik dan
mendengarkannya bahwa sesungguhnya Allah swt menciptakan manusia dengan
memiliki insting atau tabi’at yang cenderung kepada kesenangan dan kebaikan
yang membekas didalam dirinya. Dengan hal itu dirinya menjadi tenang, senang,
bersemangat dan menenangkan anggota tubuhnya. Jiwanya juga merasa lega dengan
berbagai pemandangan yang indah seperti pemandangan yang hijau, air yang
jernih, wajah yang cantik, bebauan yang wangi.
Syari’at
tidaklah mematikan insting itu akan tetapi ia mengaturnya dan bersifat moderat
didalam islam merupakan sesuatu yang sangat mendasar yang telah ditunjukkan
oleh Al Qur’an yang mulia, seperti firman-Nya :
يَا
بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ
وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya :
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.” (Qs. Al A’raf : 31)
Berdasarkan
hal itulah syariat islam mengarahkan manusia untuk memenuhi berbagai tuntutan
instingnya kepada batas yang moderat dan tidak melepaskannya begitu saja dan
tidak juga mencabut insting itu didalam menyukai berbagai pemandangan yang
baik, suara-suara yang nikmat didengar dan sesungguhnya syariat itu mengaturnya
dengan baik dan seimbang kepada apa-apa yang tidak membawa kemudharatan dan
kejahatan.
Beliau juga
menambahkan didalam fatwanya bahwa dirinya telah membaca pendapat salah seorang
fuqoha abad XI, tulisannya itu berjudul “Penjelasan dalil-dalil dalam
mendengarkan alat-alat musik” oleh Syeikh Abdul Ghani an Nablusi al Hanafi yang
menegaskan didalamnya bahwa hadits-hadits yang dijadikan dasar oleh orang-orang
yang mengharamkan musik terikat dengan penyebutan berbagai macam permainan,
penyebutan khomr, biduanita, perbuatan tak senonoh dan hampir dipastikan bahwa
didalam hadits tersebut tidak disebutkan perbuatan-perbuatan yang demikian.
Nabi saw, para sahabat, tabi’in, para imam dan fuqoha telah menghadiri berbagai
pertemuan untuk mendengarkan sesuatu yang tidak ada didalamnya suatu pelecehan
dan yang diharamkan, hal ini juga banyak dikemukakan oleh para fuqoha. Fatwanya
bahwa mendengarkan alat-alat yang memiliki alunan (senandung) atau suara-suara
tidak mungkin diharamkan hanya sebatas suara yang keluar dari alat itu akan
tetapi ia diharamkan apabila ia digunakan untuk sesuatu yang diharamkan atau
menggunakan sarana yang diharamkan atau melalaikan yang wajib.
Kesimpulan
ini didapat dari berbagai kitab fiqih para madzhab dan hukum-hukum didalam Al
Qur’an dan dari sisi bahasa bahwa memukul duff (rebana) atau alat-alat lainnya
para penunggang onta, untuk menggelorakan semangat para tentara dalam
berperang, didalam perkawinan, hari raya, kedatangan orang yang selama ini
hilang, membangkitkan semangat untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
penting adalah mubah sebagaimana kesepakatan ulama.
Kaidah fiqh
dalam hal ini
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ
اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai
ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ
“asal dalam muamalah adalah halal”
Adapun perbedaan
yang terjadi diantara para fuqoha yang terdapat didalam buku-buku mereka adalah
masalah halal atau tidak halal menyibukkan dirinya dengan musik baik
mendengarkan, menghadiri atau mengajarkan apabila para pelakunya adalah orang
yang berbuat haram seperti meminum khomar, nyanyian tak senonoh, cabul (jorok)
yang bisa membangkitkan hawa nafsu maupun kefasikan pada orang-orang yang
mendengarkannya begitu juga dengan joget atau perbuatan mesum lainnya. Dan itu
semua digunakan pada tempat-tempat yang mengandung kemunkaran atau diharamkan…
“
Ibnu Hazm
mengatakan bahwa permasalahan ini tergantung dari niatnya. Barangsiapa yang
berniat untuk menghibur dirinya, menyemangatinya untuk berbuat ketaatan maka ia
termasuk orang yang taat dan berbuat baik dan barangsiapa yang berniat bukan
untuk ketaatan juga bukan untuk kemaksiatan maka hal itu termasuk didalam
perbuatan yang sia-sia yang dimaafkan seperti manusia yang keluar ke kebunnya
hanya untuk refresing atau orang yang duduk-duduk di depan pintu rumahnya untuk
rileks semata.
Imam Ghozali
mengemukakan pendapat asy Syaukani didalam menjelaskan hadits,”Segala permainan
yang dimainkan seorang mukmin adalah batil.” Tidaklah menunjukkan pengharaman
akan tetapi menunjukkan tidak adanya manfaat dan setiap yang tidak ada manfaat
didalamnya termasuk mubah (boleh).” (Fatawa al Azhar juz VII hal 263)
Demikian
pula terhadap musik karya Wolfgang A Mozart, musik simfoni, sonata, concerto
yang termasuk didalam golongan musik-musik klasik maka ia—sebagaimana fatwa
diatas—dibolehkan selama tetap memperhatikan hal-hal berikut ;
1.
Tidak diniatkan untuk masiat kepada Allah swt.
2.
Tidak berlebih-lebihan didalam menikmati maupun
mendengarkannya sehingga melalaikannya dari perkara-perkara yang diwajibkan,
seperti : sholat, mengingat Allah maupun kewajiban lainnya.
3.
Para pemainnya tidak menampilkan perbuatan-perbuatan
yang diharamkan atau dilarang agama.
4.
Biduanitanya—jika ada—tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang mengundang fitnah, seperti :menggunakan gaun yang
seronok, tidak sopan, bergoyang-goyang atau menyanyikannya dengan suara-suara
yang dibuat-buat sehingga membangkitkan birahi dan merangsang syahwat
orang-orang yang mendengarkannya.
5.
Bait-bait syair lagunya tidak bertentangan dengan adab
dan ajaran islam, seperti mengandung kemusyrikan, pelecehan, jorok dan
sejenisnya.
6.
Tidak diadakan di tempat-tempat yang mengandung
syubhat, kemunkaran atau diharamkan, seperti di tempat yang dibarengi dengan
minuman keras, dicampur dengan perbuatan cabul dan maksiat.
Bagi seorang
muslim yang menyukai musik ini maupun yang ingin mengambil manfaat darinya
untuk hal-hal diatas maupun yang lainnya maka tidaklah menempatkannya diatas
dari keagungan, keindahan maupun mafaat dari Al Qur’an. Hendaklah terlebih
dahulu ia menggunakan Al Qur’an sebelum menggunakan musik tersebut karena Al
Qur’an adalah obat, menenangkan jiwa, menghibur dikala sedih, mengasah
ketajaman hafalan dan lainnya. Adapun setelah itu dia ingin menggunakan musik
klasik untuk diambil manfaatnya seperti yang dikatakan oleh para pakar dan
selama tidak mengandung hal-hal yang dilarang seperti yang disebutkan diatas
maka ia dibolehkan.
Muhammadiyah
Alatul
Malahi yang di maksud adalah alat bunyi-bunyian (musik) dan hukumnya berkisar
kepada illatnya (sebabnya). Dan ia ada 3 macam :a. Menarik kepada keutamaan
seperti menarik kepada keberanian di medan peperangan, hukumnya sunat.b. Untuk main-main belaka (tak
mendatangkan apa-apa) hukumnya makruh,
menilik hadits :”Termasuk kesempurnaan seseorang ialah meninggalkan barang yang
tak berarti”. (hadits ini di riwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah). c.
Menarik kepada ma’siyat hukumnya haram
Nahdatul
Ulama
Muktamar
memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes (malahi) seperti seruling dengan
segala macam jenisnya dan alat-alat orkes lainnya, kesemuanya itu haram, kecuali terompet perang,
terompet jamaah haji, seruling penggembala, dan seruling permainan anak-anak
dan lain-lain sebagainya yang tidak dimaksudkan dipergunakan hiburan.