By ZUKRA_SMPN3PPU | At 04.15 | Label : | 0 Comments
AYAT-AYAT DAN
SURAT-SURAT AL-QUR’AN
A. Pendahuluan
Masa awal kaum muslim, teks al-Qur’an bukan berupa mushaf seperti yang
dapat dilihat sekarang ini adalah ayat-ayat yang terpisah dan berserakan.
Ayat-ayat yang turun selama masa kerasulan Muhammad saw, yang antara satu atau
beberapa ayat dengan ayat yang lain diselingi beberapa waktu, tidaklah segera
dikodifikasikan pada masa itu. Namun, atas perintah Nabi, di samping menyuruh
hafalkan kepada para sahabat, ayat-ayat tersebut ditulis di atas
pelepah-pelepah kurma, tulang batu-batu dan tulang-tulang unta[1].
Tiba pada masa khalifah Abu Bakar, dilatarbelakangi oleh kekhawatiran
Umar bin Khatab atas banyaknya huffazh yang syahid, ayat-ayat yang berserakan
tersebut lalu dikumpulkan dan di tulis kembali hingga menjadi sebuah mushaf
al-Qur’an.
Mushaf al-Qur’an ini terdiri sejumlah surat dengan nama-nama tersendiri
dan juga sejumlah ayat dengan nomor urut tersendiri. Pembagian al-Qur’an ke
dalam surat dan ayat tentu memiliki makna yang jelas. Setidaknya di samping
menjadi lebih sistematis, akan memudahkan orang untuk membaca, mempelajari dan
menghafalnya al-Qur’an. Sunnah mengharuskan orang yang shalat atau khutbah
untuk membaca ayat al-Qur’an yang tidak boleh kurang dari satu ayat tidaklah
menjadi sulit, tetapi malah sebaliknya akan dapat terpenuhi dengan mudah.
Demikian juga dengan keharusan bagi orang yang belum mampu membaca al-Fatihah
dalam shalatnya, maka ia dengan mudah dapat membaca tujuh ayat lainnya.
Tulisan ini mencoba menyajikan sekitar surat dan ayat-ayat al-Qur’an,
dengan keterbatasannya.
B.
Pengertian
Ayat
Menurut Az-Zarqani, Kata”
$ä}vã
“ merupakan bentuk jamak dari kata “Ö}vã “, sedang kata “Ö}vã”
itu sendiri memiliki banyak arti[2]
.
Pertama, ayat
berarti juga mukjizat. Ayat dalam pengertian ini dapat dilihat dalam surat
Al-Baqarah ayat 211 yaitu :
سَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَمْ
آتَيْنَاهُم مِّنْ آيَةٍ بَيِّنَةٍ
[2:211] Tanyakanlah kepada Bani
Israil: "Berapa banyaknya tanda-tanda (kebenaran) yang nyata,.
Kedua, ayat berarti tanda. Hal ini dapat dibaca di dalam surat Al
Baqarah ayat 248 yang berbunyi :
إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَّكُمْ
إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda
bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Ketiga, ayat berarti ‘ibrah atau pelajaran. Ayat yang berati ini
banyak sekali disebutkan dalam Al-Quran misalnya dalam surat An- Nahl ayat 67,
yaitu :
إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
[16:67] ...Sesunggguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
Keempat,
ayat berarti Al-amru Al-‘ajib, yaitu sesuatu yang menakjubkan. Berikut
ayat Al-Mu’minun ayat 50 :
وَجَعَلْنَا
ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ آيَةً
[23:50]
Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta ibunya suatu hal yang
mengagumkan
Kelima, berarti “golongan” sebagaimana perkataan mereka :
kt&}äæ hq^eã ,=5
Suatu kaum
keluar bersama kelompoknya
Keenam, ayat berarti burhan, dalil atau bukti. Misalnya ayat yang
berbunyi:
وَمِنْ
آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافُ أَلْسِنَتِكُمْ
وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّلْعَالِمِينَ
[30:22] Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
As-Suyuthi menyandarkan pendapat Imam al-Ja’bari bahwa arti ayat adalah
Quran yang terangkai dari jumlah (ungkapan), walaupun secara taqdiriyyan
(perkiraan), dan memiliki permulaan atau penggalan yang masuk di
dalam surat. Imam Zarkasyi mengartikan ayat ismi ‘alam (suatu istilah)
yang bersifat tauqifi, yang tidak ada qiyas di dalamnya[3].
Oleh karena itu, secara terminologis para ulama memberi batasan ayat
dengan sekelompok kata yang mempunyai permulaan dan akhir yang berada dalam
suatu surat al-Qur’an[4]. Batasan ini didukung oleh al-Qur’an sendiri
yang mengungkapkan ayat dengan pengertian tersebut sehingga makna etimologis
tetap relevans dengan pengertian terminologis. Salah satunya adalah dalam surat
Yusuf ayat 1:
الر
تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ
[12:1] Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al
Qur'an) yang nyata (dari Allah).
Seperti halnya surat, panjang pendek ayat juga sangat beragam. Dalam
beberapa surat, pada umumnya surat-surat panjang, ayat-ayat pun yang panjang.
Sedangkan dalam surat-surat pendek yang terletak di bagian akhir al-Qur’an,
surat-suratnya pun pendek, padat dan mengena. Namun kenyataan seperti itu
bukanlah aturan yang mutlak. Sebab, surat 98 atau surat al-Bayyinah berisi 6
ayat panjang untuk ukuran surat-surat yang bersamanya.
Demikian pula pada surat 26 atau surat Al-Syu’ara yang tergolong surat
yang panjang berisi lebih dari 100 ayat yang pendek-pendek. Pada ayat-ayat yang
panjang yang terdapat dalam surat yang panjang, bentuk ungkapannya sangat
beragam, tak dapat ditentukan matra yang baku, baik pada suku-suku kata atau
pada tekanan. Pada umumnya akhiran-akhiran dari ayat tersebut adalah bunyi yang
dibentuk dengan akhiran kata benda dan kata kerja berbentuk jamak, -un dan –in,
diselang-seling dengan kata bentukan yang secara teknis disebut fa’il, salah
satu bentuk yang paling umum di dalam bahsa Arab. Sebagai contoh تعقلون، يتفكرون dan ظالمون، كافرون. Dan inilah bentuk yang umum dan paling
banyak digunakan. Tetapi juga terkadang dengan akhiran vokal panjang a.
Sedangkan pada ayat-ayat yang pendek-pendek memiliki irama dan ritma yang juga
sangat bervariasi. Terkadang semua atau sebagian besar ayat-ayatnya berakhiran
ud, ha dan lain-lain.
C.
Jumlah Ayat-ayat Al-Qur’an
Secara umum dapat dinyatakan bahwa para ulama menghitungnya
tidak kurang dari 6200 ayat[5].
Imam Nawawi dalam at-Tibyan yang
dikutip Az-Zarqani menjelaskan perbedaan pendapat mereka secara rinci[6].
Orang-orang Madinah menyuguhkan dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa
seluruh ayat al-Qur’an berjumlah 6217 ayat. Sedangkan pendapat yang kedua
menyatakan bahwa seluruhnya berjumlah 6214 ayat. Orang-orang Mekah menghitung
ayat al-Qur’an secara keseluruhan sebanyak 6220 ayat. Sedang orang-orang Kufah
menyatakan 6236 ayat dan orang-orang Basrah menyatakan jumlah ayat al-Qur’an
seluruhnya adalah 6205 ayat. Sedang ulama Syam menyatakan jumlah ayat al-Qur’an
seluruhnya 6226 ayat.
Bila kita cermati dalam Al-Quran dan
Terjemahnya, Depag RI jumlah ayat 6236. Sementara pendapat yang beredar
di masyarakat awam bahwa ayat al-Qur’an
seluruhnya berjumlah 6666 ayat tampaknya kurang dapat diterima. Angka ini barangkali
lebih bernuansa mitos atau keramat dibanding dengan realita konkrit.
D.
Sebab Terjadinya Perbedaan
Pendapat Tentang Jumlah Ayat
Berdasarkan keterangan terdahulu, tentang jumlah ayat, yang berbeda,
kerena Nabi saw dahulu pernah berhenti pada ujung ayat karena tauqif.
Apabila diketahui tempatnya maka Nabi melanjutkan untuk menyempurnakan,
sehingga orang yang mendengar pada saat itu mengira bahwa bukanlah fashilah(pembatas).
Maka sebagian sahabat mengira bahwa yang dibaca waqaf oleh
Nabi itu bukan fashilah, karena beliau membaca washal pula dengan anggapan
mereka, semuanya merupakan satu ayat, kemudian yang lain menganggapnya sebagai
ayat tersendiri. Sejatinya hal ini tidak mengakibatkan menambah dan mengurang
dalam al-Qur’an.
Imam Zarkasyi mengartikan ayat ismi ‘alam (suatu istilah) yang
bersifat tauqifi, yang tidak ada qiyas di dalamnya. Oleh karena itu,
mereka mengganggap Alif Laam Miim sebagai ayat, dimana dia berada, dan Alif
Laam Shaad. Mereka tidak mengganggap Alif Laam Miim Raa sebagai
ayat. Mereka menganggap Haa Miim sebagai ayat di dalam suratnya,
demikian juga Thaha dan Yasin. Tetapi mereka tidak mengganggap Thaa
Siin sebagai ayat.
Imam Suyuthi mengatakan di antara dalil yang menunjukkan bahwa hal itu taufiqi
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya
melalui jalan periwayatan “Ashim bin Abi an-Najud, dari Zir, dari Ibnu Mas’ud,
ia berkata: Rasulullah saw telah membacakan surat kepadaku dari ats-Tsalaasiin,
dari aali (Haa mim). Ibnu Mas’ud berkata, yaitu surat al-ahqaf.
Dan dahulu surat yang ayatnya lebih dari 30 dnamakan ats-Tsalaasiin
....(al-Hadits)
Abu Abdillah al-Mushilli di dalam syarh qasidah-nya, Dzatur Rasyad fil
‘Adad, mengatakan, ulama Madinah, Mekkah, Syam, Bashrah, dan Kufah telah
berbeda pendapat tentang jumlah ayat al-Quran. Untuk ahlul Madinah ada dua
‘adad(hitungan): hitungan pertama, yaitu hitungan Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa
dan Syaibah bin Nashah. Hitungan kedua,
hitungan Ismail Ja’far bin Abi Katsir al-Anshari.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, bahwa perbedaan penetapan basmalah
sebagai ayat dari surat-surat al-Qur’an atau tidak menyebabkan ulama berbeda
pendapat dalam menentukan jumlah ayat al-Qur’an.
Di samping itu, serta penentuan fashilah dan ra’s al-ayat juga
menjadi sebab perbedaan pendapat ulama dalam menghitung jumlah ayat. Fashilah
adalah istilah yang diberikan kepada kalimat yang mengakhiri ayat dan merupakan
akhir ayat. Sedangkan ra’s al-ayat adalah akhir ayat yang padanya diletakkan
tanda fashal (pemisah) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Fashilah
ini terkadang berupa ra’s al-ayat dan terkadang tidak. Dengan demikian, setiap
ra’s al-ayat adalah fashilah dan tidak setiap fashilah adalah ra’s al-ayat[7].
Fashilah dan ra’s al-ayat ini mungkin mirip dengan sajak, seperti yang dikenal
dalam ilmu Badi’ (stalistik). Tetapi ulama tidak menggunakan istilah sajak
karena al-Qur’an bukan karya sastrawan atau ungkapan para nabi, tetapi adalah
wahyu Allah yang tentu lebih tinggi kedudukannya dibanding sajak. Di samping
itu, fashilah yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah meruntutkan makna dan bukan
fashilah itu sendiri yang dimaksud. Sementara sajak, maka sajak itu sendiri
yang dimaksudkan (dalam suatu perkataan) dan baru kemudian arti perkataan itu
dialihkan kepadanya, sebab hakikat sajak ialah menguntai kalimat dalam satu
irama.
E. Susunan Ayat-ayat Al-Qur’an
Adapun tertib ayat al-Qur’an oleh ulama seperti yang dikatakan As-Sayuthi,
disepakati urutannya berdasarkan tauqifi dari Rasul. Karena setiap kali turun
ayat nabi selalu memberikan petunjuk supaya meletakkan ayat tersebut pada
tempat tertentu atau pada surat yang di dalamnya disebutkan seperti ini.
Usman bin Abi al-Ash mengatakan:
Saya duduk di samping Rasul, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu
kembali seperti semula kemudian memerintahkan
aku meletakan ayat ini di tempat ini surat ini. Ibnu Zubair berkata, aku
mengatakan kepada Usman bahwa ayat 23 surat al-Baqarah telah dimansukhkan oleh
ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan.
Beliau menjawab: “Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya”.
Di samping itu diriwayatkan pula bahwa Jibril senantiasa mengulangi dan
memeriksa al-Qur’an yang telah disampaikannya kepada Muhammad setiap tahun pada
bulan Ramadhan, bahkan sampai dua kali pada tahun-tahun terakhir hidup Muhammad
saw. Pengulangan Jibril terkahir ini adalah seperti susunan surat-surat
al-Qur’an yang dikenal sekarang.
Seperti dijelaskan di
atas, ada ayat yang panjang dan ada yang pendek, bahkan hanya satu huruf
sekalipun. Semua itu, ada faidahnya, Menurut Acep Hermawan mengutip[8]
pendapat Al-Zarqany melihat ada tiga faidah mengatahui ayat ini, yaitu :
1.
Mengetahui bahwa setiap tiga ayat
pendek-pendek pun mengandung mukjizat. Allah yang berfirman, satu di antaranya
adalah :
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ
إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
[2:23] Dan jika kamu
(tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
Satu
surat sudah menjadi mukjizat yang tak bakal dapat ditandingi produk makhluk
mana pun. Pada hal satu surat yang paling pendek hanya terdiri atas tiga ayat.
Tiga ayat sudah cukup melumpuhkan kesanggupan makhluk mana pun.
2. Sebagian ulama mengatakan bahwa berhenti
membaca pada setiap akhir ayat adalah sunnah. Ketetapan ini memegang dalil
riwayat Abu Daud dari Ummu Salamah yang mengatakan: bahwanya Rasulullah bila
membaca al-Quran memutus bacaan ayat demi ayat. Beliau membaca: Bismillahi
al-Rahmani al-Rahimi, lalu berhenti. Selanjutnya: Al-hamdu lillahi rabbi
al-‘alamin, lalu berhenti. Kemudian al-Rahmani al-Rahimi, lalu
berhanti.
3. Di dalam khutbah ada keharusan membaca
ayat secara utuh. Artinya membaca satu ayat secara keseluruhan. Tanpa
pengetahuan batas-batas ayat, sulit untuk menjalankan ketentuan ini.
F.
Pengertian Surat
Dari segi lughawi, surat berarti mazilah atau kedudukan. Artinya
lainnya adalah syaraf, atau kemulian[9].
Menurut definisi terminologis yang dikenal dalam hubungannya dengan
Al-Quran, surat adalah kelompok tersediri dari ayat-ayat Al-Quran yang
mempunyai awal dan akhir[10].
Kita tidak melihat batasan surat dalam perspektif yang
berbeda. Pada umumnya memberikan batasan yang sama tentu dengan sedikit
penjelasan tambahan yang berbeda. Al-Zarkasyi misalnya menjelaskan pengertian
surat dengan “sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan
penutup”. Al-Zarqani memberikan sedikit
tambahan bahwa sekelompok ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai permulaan dan
akhir itu adalah berdiri sendiri[11]
Tetapi, meskipun sekelompok ayat dimaksud berdiri sendiri, namun satu sama lain
dipercaya berhubungan erat saling melengkapi, sehingga ada yang mengatakan
bahwa surat al-Fatihah adalah pengantar surat al-Baqarah, dan surat al-Baqarah
adalah pengantar surat al-Nisa’ dan seterusnya.
Batasan surat yang dikemukakan oleh pakar-pakar ilmu al-Qur’an sebagai
sekelompok ayat-ayat tampaknya cukup beralasan. Karena al-Qur’an sendiri
tampaknya menghendaki pengertian demikian.
Al-Qur’an menggunakan kata surat dalam ungkapannya sebanyak 7 kali dalam
bentuk mufrad yang tersebar 3 surat, yaitu surat al-Tawbah: 64, 86, dan 124,
surat al-Nur: 1 dan surat Muhammad: 20 dengan dua kali penyebutan. Sedang
bentuk jamaknya hanya satu kali digunakan al-Qur’an dalam surat Hud: 13.
Penggunaan kata surat adalah dalam pengertian yang sama yakni merujuk pada
sekumpulan ayat-ayat al-Qur’an.
Surat-surat al-Qur’an antara satu sama lainnya, baik dalam mushaf yang
ditulis tangan maupun cetak, dipisahkan dengan sebuah muqaddimah yang
diletakkan di awal surat. Dalam muqaddimah ini, biasanya pertama-tama
disebutkan nama surat, kemudian pernyataan tentang penanggalannya, yakni
diskripsi sederhana tentang surat tersebut apakah sebagai surat Makiyah atau
Madaniyah, dan diakhiri dengan catatan tentang jumlah ayat. Setelah muqaddimah
disusul dengan basmalah (بسم
الله الرحمن الرحيم) pada
setiap surat. Pengecualian penggunanaan frase tersebut hanya pada surat 9.
Penulisan basmalah pada setiap surat tentu tak dapat dipandang sebagai hasil
penyuntingan yang belakangan, tetapi merupakan bentuk asli yang datang dari
Muhammad saw.
Hal ini cukup beralasan karena pada surat 27 atau surat al-Naml ayat 30
dimana Sulaiman mengirim sepucuk surat kepada Ratu Balqis, ungkapan basmalah
mengawali suratnya seakan-akan kepala yang memadai untuk sebuah dokumen yang
berasal dari seorang nabi.
Panjang pendek surat-surat al-Qur’an sangat beragam, tetapi dalam
susunannya setelah surat al-Fatihah (pembukaan) surat-surat al-Qur’an dimulai
dengan surat yang sangat panjang dengan ayat-ayat yang panjang, kemudian
semakin lama semakin pendek dengan ayat-ayat yang pendek pula. Surat al-Baqarah
yang terletak sesudah surat al-Fatihah merupakan surat yang terpanjang dengan
jumlah ayat sebanyak 286 ayat atau lebih dari dua juz, sedangkan surat
terpendek surat al-Kautsar dengan 3 ayat yang pendek-pendek. Walaupun surat
al-Kautsar ini adalah surat yang terpendek dengan ayat-ayatnya yang pendek
namun tidaklah terletak pada penghujung atau penutup surat-surat al-Qur’an,
tetapi menempati nomor urut 108 dari 114 surat semuanya.
G.
Jumlah Surat-surat
Al-Qur’an
Tampaknya tidak banyak pendapat yang bermunculan tentang jumlah surat
al-Qur’an di banding dengan pendapat tentang jumlah ayat al-Qur’an. Hal ini
mungkin disebabkan karena pada setiap surat dipisahkan dengan basmalah yang
menjadi bagian awal setiap surat. Sedangkan dalam menentukan jumlah ayat
terdapat peluang berbeda pendapat yang bertolak dari penentuan basmalah sebagai
ayat dari setiap surat dan fashilah serta ra’s al-ayat seperti yang akan
dikemukakan berikutnya.
Pendapat yang paling umum diterima, jumlah surat al-Qur’an seperti dalam
mushaf Usman adalah 114 surat. Tetapi pendapat yang diterima dari Mujahid surat
al-Qur’an adalah 113 surat dengan menggabungkan surat al-Anfal dengan surat
al-Taubah menjadi satu surat. Hasan, ketika ditanya apakah surat al-Bara’ah dan
surat al-Anfal itu satu surat atau dua surat, menjawab “satu surat”. Ibnu
Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua
surat terakhir (mu’awidzatani)[12]yang
oleh Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat
al-Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai surat
al-khaf dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an.
H.
Penamaan
Surat-surat Al-Qur’an
Penamaan satu surat dengan surat yang lain, bisa jadi ada satu surat yang
memiliki satu, atau beberapa nama, sebagaimana dijelaskan oleh As-Suyuti
berikut ini :
1.
Surat Al-Fatihah, memiliki 25 nama
:
a. Fatihatul Kitab
|
n. Surat al-Hanmdu al-Ula
|
b. Fatihatul Qur’an
|
o. Surat al-Hanmdu al-Qashraa
|
c. Ummul Kitab
|
p. Ar-Ruqyah
|
d. Ummul Qur’an
|
q. Asy-Syifa
|
e. Al-Quran
al-‘Adzim
|
r. Asy-Syafiyah
|
f. As-Sab’u al-
Matsani
|
s. Surat ash-Shalat
|
g. Al-Wafiah
|
t. Surat ash-Shalat (karena
termasuk dalam rukun shalat yang wajib
dipenuhi, pendapat berdasar hadits Qudsi)
|
h. Al-Kanzu
|
u. Surat ad-Du’a
|
i. Al-Kaafiyah
|
v. Surat as-Su’aal
|
j. Al-Asaas
|
w. Surat Ta’lim al-Masalah
|
k. An-Nur
|
x. Surat al-Munaajaat
|
l. Surat
al-Hanmdu
|
y. Surat at-Tafwidh
|
m Surat
as-Syukru
|
2.
Surat al-Baqarah (nama lain : Fusthat al-Qur’an,
Sanamul Qur’an)
3.
Surat Ali’Imran (nama lain : Thayyibah,
az-Zahraawain)
4.
Surat al-Maidah (nama lain: al-‘Uqud,
al-Munqizah)
5.
Surat al-Anfal (nama lain: surat Badar)
6.
Surat Baraa’ah (nama lain : at-Taubah,
al-Fadhihah, al-Muqasyqisyah, al-Munaqirah, al-Bahuts, al-Haafirah,
al-Mustiirah dan al-Muba’tsirah)
7.
Surat an-Nahl (nama lain : an-Ni’am)
8.
Surat al-Isra’ (nama lain : Subhaana, Bani
Israil)
9.
Surat al-Kahfi (nama lain : Ashhabul Kahfi)
10. Surat
Thaha (nama lain : al-Kalim)
11. Surat
as-Syu’ara (nama lain : al-Jaami’ah)
12. Surat an-Naml
(nama lain: Sulaiman)
13. Surat
as-Sajadah (nama lain: al-Madhaaji’)
14. Surat
Faathir(nama lain: al-Malaikah)
15. Surat
Yasin (nama lain: Qalqul Qur’an, al-Mi’mah, ad-Dafi’ah, al-Qadhiyah)
16. Surat
az-Zumar (nama lain: al-Ghuraf)
17. Surat
Ghaafir (nama lain: at-Thul, al-Mukmin)
18. Surat
Fushshilat (nama lain: as-Sajadah, al-Muhaasabih)
19. Surat
al-Jatsiyah (nama lain: as-Syarii’ah, ad-Dahr)
20. Surat
Muhammad (nama lain: al-Qital)
21. Surat
Qaf (nama lain: al-Baasiqaat)
22. Surat
Iqtarabat (nama lain:al-Qamar)
23. Surat
ar-Rahman(nama lain: arusul Qur’an)
24. Surat
al-mujadalah (nama lain: adz-Dzihar)
25. Surat
Hasyr
26. Surat
al-Mumtahanah bisa dibaca al-Mumtahinah (nama lain: al-Imtihan, al-Mawaddah)
27. Surat
as-Shaf (nama lain: al-Hawariyyin)
28. Surat at
Thalaq (nama lain: an-Nisa al-Qushra)
29. Surat at-Tahrim
(nama lain: al-Mutaharrim, Lima Tahariim)
30. Surat
Tabaarak (nama lain: al-Mulk,
al-Maani’ah, al-Munjiyah, al-Waaqiyah,
al-Manaa’ah)
31. Surat Sa’ala (nama lain: al-Ma’aarij, al-Waaqi’)
32. Surat
‘Amma (nama lain: an-Naba’, at-Tasaa’ul, al-Mu’shiraat)
33. Surat
Lam yakun (nama lain: Ahlul Kitab, al-Bayyinah, al-Qiyamah, al-Barriyah,
al-infikak)
34. Surat
Ara’aita (nama lain: ad-Diin, al-Mau’un)
35. Surat
al-Kafirun (nama lain: al-Muqasyqisyah, al-Ibadah)
36. Surat
an-Nashr (nama lain: at-Taudi)
37. Surat
Tabbat (nama lain: al-Massad
38. Surat
al-Ikhlas (nama lain: al-Asas)
39. Surat
al-Falaq & al-Nas (nama lain: al-Mu’awwidzataan, al-Musyaqsyiqataani)[13]
Sebagaimana disebutkan di atas,
sebuah surat boleh jadi mempunyai satu atau beberapa nama. Surat al-Taubah
misalnya, disebut juga dengan surat al-Bara’ah, dan al-Buhus. Surat al-Insan
dinamai pula dengan surat al-Dahr, dan lain-lain. Tetapi, nama-nama surat
tersebut tidaklah menunjukan judul atau tema pokok dari surat-surat tersebut, meskipun
tak dapat dipungkiri bahwa setiap surat mempunyai tema, tetapi hanya dijadikan
sebagai alat metode identifikasi. Nama-nama surat ini diambil dari kata yang
mencolok atau tidak lazim di dalamnya. Biasanya kata ini muncul hampir di awal
surat, tetapi tidak demikian selamanya. Surat 16 misalnya, diberi nama dengan
surat al-Nahl (lebah) tetapi tidak disebutkan di dalamnya hingga pada ayat 68
lebih separuh dari surat tersebut; bahkan ayat ini (16: 68) merupakan
satu-satunya bagian dari al-Qur’an yang berbicara tentang al-Nahl. Senada
dengan ini, surat 26 diberi nama dengan al-Syu’ara, kata yang disebutkan
al-Qur’an di dalam ayat 224 surat tersebut dan merupakan bagian paling akhir
dari surat tersebut.
Jelas sekali bahwa nama-nama surat
ini tidak berasal dari al-Qur’an, tetapi diperkenalkan oleh para-pakar
al-Qur’an. Tampaknya tidak ada aturan yang umum dalam pemilihan nama-nama surat
tersebut. Orang-orang menggunakan kata apa saja yang paling menonjol dalam
suatu surat. Sebagian ulama mengasumsikan bahwa nama-nama surat al-Qur’an ini
adalah petunjuk Rasul (tauqifi). Sedangkan sebagian lagi percaya bahwa penamaan
surat tersebut berdasarkan jitihad sahabat yang diambil dari pokok pembicaraan
dalam surat itu. Tetapi, tampaknya yang lebih masuk akal adalah bahwa Nabi
sangat berperan dalam mensosialisasikan nama-nama surat. Tidak mungkin Nabi saw
sebagai transmiter dan penerjemah al-Qur’an untuk para sahabat tidak memiliki
nama-nama surat sebagai alat identifikasi.
Yang jelas sejak masa yang paling awal Nabi dan sahabat-sahabat telah
mengetahui dan mempopulerkan nama-nama surat al-Qur’an.
Sementara penamaan surat-surat yang
berdasarkan panjang pendeknya surat tampaknya hanya untuk identifikasi dalam
kerangka yang lebih luas. Al-thiwal, misalnya adalah surat-surat yang
dikenal dengan tujuh surat yang panjang yang terdapat pada permulaan mushaf,
yaitu surat 2 – 8 (surat al-Baqarah, Ali Imran, al-Maidah, al-Nisa’, al-An’am,
al-A’raf dan al-Anfal). Al-mi’un adalah nama yang diberikan kepada
surat-surat yang ayatnya seratus atau lebih sedikit. Al-matsani, dikenal
sebagai surat-surat yang jumlah ayatnya yang tidak mencapai 100 ayat. Sedangkan
al-mufashshal adalah surat-surat yang lebih pendek. Disebut dengan
mufashshal karena banyak fashal (pemisah) di antara surat-surat tersebut dengan
basmalah[14].
I.
Susunan
Surat-surat Al-Qur’an
Menurut Az-Zarkasyi
surat-surat
al-Quran itu ada 4 bagian[15], yaitu
:
1. At Tiwal ada tujuh surat, yaitu al-Baqarah, Ali ’Imran,
al-Nisa, al-Maidah, al-An’am, al-A’raf dan ada yang menyebutkan al-Anfal & al-Bara’ah
sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah diantara keduanya. Ada juga yang
menyebutkan surat Yunus sebagai yang ketujuh.
2. Al Mi’un, yaitu surat-surat yang jumlah
ayatnya sekitar seratus.
3. Al Matsani, yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di
bawah Al Mi’un. Dinamakan Matsani karena surat itu sering diulang lebih dari
surat-surat At Tiwal & Al Mi’un.
4. Al Mufashshal, yaitu surat-surat yang lebih pendek dari Al
Matsani. Disebut Mufashshal karena banyak pemisah (fashl) diantara
surat-surat tersebut dengan basmalah. Dengan kata lain seringnya terputus
sebab, surat itu pendek. Mufashshal terbagi menjadi tiga, yaitu Mufashshal
Tiwal, ausat, dan qisar. Mufashshal Tiwal dimulai dari surat Qaf atau
al-Hujurat sampai dengan ‘Amma atau al-Buruj. Mufashshal ausat dimulai
dari surat atau al-Buruj sampai dengan ad-Dhuha atau Lam Yakun. Mufashshal
qisar dimulai dari surat ad-Dhuha atau Lam Yakun sampai dengan Al-Naas.
Al-Mushali[16] membagi
Surat-Surat Al Quran menjadi 3 bagian, yaitu : Pertama, 40 surat-surat yang
tidak diperselisihan baik secara ijmal maupun tafshili. Kedua, 4 surat yang
diperselisihkan secara tafshili. Ketiga, 70 surat yang diperselisihkan secara
ijmal maupun tafshili, yaitu :
Bagian Pertama : 40 surat, tidak diperselisihkan
Bagian Kedua : 4 surat, yang diperselisihkan secara
Tafshil (terperinci)
Bagian Ketiga :70
surat, yang diperselisihkan secara Tafshil (terperinci) dan
secara Ijmal (global)
Catatan :
Perbedaan surat al-Fatihah
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
J.
Perbedaan Pendapat Tentang Surat-surat
Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat tentang susunan surat-surat al-Qur’an. Ada
tiga pendapat yang muncul tetang persoalan ini, yaitu: pertama, susunan
surat-surat al-Qur’an seluruhnya berdasarkan petunjuk Rasul (tauqifi). Kedua,
susunan surat-surat al-Qur’an adalah ijtihad para sahabat; dan ketiga, susunan
surat-surat al-Qur’an sebagian bersifat tauqifi dan sebagian lagi adalah
ijtihad sahabat[17].
Pendapat yang pertama ini didukung oleh ulama-ulama seperti Abu Ja’far
bin Nuhas, Ibnu al-Hasr dan Abu Bakar al-Anbari. Alasan yang mendukung pendapat
ini adalah riwayat Abu Syaibah bahwa Nabi pernah membaca beberapa surat
al-mufashshal dalam satu rakaat menurut susunan mushaf al-Qur’an.
Di samping itu juga pernyataan Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari bahwa ia pernah menyebutkan surat Makiyah, surat Bani Israil,
al-Kahfi, Maryam, Thaha dan al-Anbiya’ yang pertama kali ia pelajari - secara
beruntut seperti urutan sekarang ini[18].
Al-Zarqani menambahkan alasan golongan ini dengan mengatakan bahwa para sahabat
telah sepakat terhadap mushaf Usman dan tidak ada seorang pun dari sahabat yang
berkeberatan atau menyangkalnya. Kesepakatan ini tak terjadi kecuali karena
pengumpulan ini sifatnya taufiqi. Sebab bila seandainya berdasarkan ijtihad
maka para sahabat tentu akan berpegang teguh pada pendapat mereka yang
berlainan[19].
Pendapat kedua dinisbahkan kepada imam Malik, dan al-Zarqani menyebut bahwa
pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama dan termasuk di dalamnya seperti
al-Qadhi dan Abu Bakar. Argumen pendapat ini adalah adanya beberapa mushaf
pribadi beberapa orang sahabat yang sistematika surat tersebut saling berbeda
satu sama lain. Mushaf Ibnu Mas’ud misalnya, dimulai dengan surat al-fatihah,
al-Baqarah, an-Nisak, Ali Imran dan seterusnya. Demikian juga dengan mushaf
Ubay. Mushaf Ali disusun berasarkan urutan turunnya ayat, karenanya dimulai
dengan surat al-Alaq, kemudian al-Mudaststir, Nun, Qalam dan seterusnya[20].
Ketika Usman ditanya oleh para sahabat, kenapa ia mengambil kebijaksanaan
untuk menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Bara’ah menjadi satu dengan
tidak meletakkan basmalah di antara kedua surat tersebut, ia menjawab bahwa itu
hanya perkiraannya karena kisah yang terdapat dalam surat al-Anfal serupa
dengan kisah dalam surat al-Bara’ah. Dan Rasulullah sampai akhir hayatnya tidak
menjelaskan bahwa surat al-Bara’ah merupakan bagian dari surat al-Anfal[21]. Pendapat ketiga beralasan dengan
adanya beberapa hadis yang menunjukkan bahwa sebagian surat-surat al-Qur’an
tertibnya berdasarkan petunjuk Rasul dan juga pada sisi lain terdapatnya
beberapa mushaf sahabat yang susunan surat-suratnya berlainan. Abu Muhammad
Ibnu Athiyah mengatakan bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an diketahui
susunannya pada masa nabi seperti al-Sab’u al-Thiwal dan Mufasshal, sedangkan
sebagian lain adalah berdasarkan ijtihad para sahabat nabi[22].
Dari ketiga pendapat yang dikemukakan di atas Manna’ al-Qaththan
cenderung pada pendapat yang pertama, karena menurutnya pendapat ini lebih kuat
dari pendapat lainnya. Terhadap argumen pendapat kedua ia mengatakan bahwa
adanya beberapa mushaf pribadi sebagian sahabat yang berbeda itu merupakan
hasil ikhtiar mereka sendiri sebelum al-Qur’an dikumpulkan[23].
Pada pendapat al-Baihaqi yang juga diikuti oleh al-Sayuthi yang mengatakan bahwa susunan surat al-Qur’an
pada dasarnya adalah taufiqi, hanya surat al-Anfal dan al-Bara’ah yang hanya
ijtihad para sahabat. Hal ini karena secara jelas terlihat adanya ijtihad Usman
seperti yang disebutkan dalam hadis di atas. Di samping itu al-Qur’an
sebelumnya telah turun ke lauh mahfudh dan telah berupa kitab yang tentunya
tersusun secara sistematis. Namun demikian, terlepas dari perbedaan tertib
surat tersebut, sistematika surat tidaklah mengindikasikan suatu kemestian dan
keharusan orang membaca dan mempelajari sesuai dengan susunan surat tersebut.
[1] Shubhi As-Shalih, Mabahis fi Ulumil Quran, Terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001)hlm. 79
[2]Muhammad ‘Abdul
‘Azhim Az-Zarqani. Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an.Terj. Muhammad Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, (Jakarta
: GayaMedia Pratama, 2001) hlm. 355-356
[3] Imam Jalaludin
As-Suyuthi. Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, Terj. Tim Editor Indiva, Studi Al-Qur’an
Komprehensif ( Solo : Indiva Media Kreasi,
2008) , cet.I. hlm. 274-275
[5]
Manna’ Al Qaththan. Mabahits
fi ‘Ulumil Qur’an,
Terj. Mudzakir AS, Studi Ilmu-ilmu
Qur’an, (Bogor
: Pustaka Lentera AntarNusa, 2012), cet. XV, hlm. 213
[14]
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim
Az-Zarqani. Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an.Terj….. hlm. 352
[15] Badrudin
Muhammad Ibnu Abdullah Az-Zarkasyi. Al
Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 1988)hlm. 307
DAFTAR PUSTAKA
Al
Qaththan, Manna’. 2012. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Terj. Drs. Mudzakir
AS, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Cet.15.
Bogor : Pustaka Lentera AntarNusa.
Ash-Shalih,
Shubhi. 2001. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an. Terj. Tim Pustaka Firdaus,
Membahas Ilmu-ilmu Al Qur’an, Cet. 18. Jakarta : Pustaka Firdaus.
As-Suyuthi,
Imam Jalaludin. 2008. Al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an. Terj. Tim Editor
Indiva, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Cet.1. Solo : Indiva Media Kreasi
Az-Zarkasyi,
ImamBadrudin Muhammad Ibnu Abdullah.1988.
Al Burhan fi ‘Ulumil Qur’an, Beirut Libanon : Darul Fikri
Az-Zarqani,
Muhammad ‘Abdul ‘Azhim. 2001. Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an.Terj.
H. Muhammad Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq. Jakarta : GayaMedia Pratama
Departemen Agama RI. 2005. Al-Quran
dan Terjemahnya. Cet.V. Bandung : CV. Diponegoro
Hermawan,
Acep. 2011. ‘Ulumul Quran, Cet. 1. Bandung : PT. Remaja RosdaKarya
Marzuki,
Kamaludin. 1992. ‘Ulum Al- Quran, Cet. 1. Bandung : PT. Remaja
RosdaKarya