Hadirin, jamaah rahimakumllah, Tema kita, etos kerta muslim
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau
amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat:
56).Maka,kerja dengan sendirinya
adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala
manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177). Syarat pokok agar setiap
aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut. Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar,
yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan
oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah(al-Baqarah:207
dan 265).
[2:265] Dan
perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan
Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di
dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan
buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis
(pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan
tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah
(ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam
hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali
Imran: 31, al-Hasyr:10).
[3:31] Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita
merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju
ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat
kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan
berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna.
Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’
Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja
yang Islami harus diperhatikan. 1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat) Islam hanya memerintahkan atau
menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap
pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara
individu maupun kelompok Firaman Allah Swt, al-An’am: 132)
[6:132] Dan
masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang
dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ini adalah pesan iman yang
membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan
iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah
pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan
moral-spiritual. 2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness) Kualitas kerja yang itqan
atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian
menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat
Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni
mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan
pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam
mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap
berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat
meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu,
melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa.
Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang
sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang
banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
[2:263] Perkataan
yang baik dan pemberian ma'af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha
Penyantun.
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik
atau Lebih Baik Lagi) Kualitas ihsan mempunyai
dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut. Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang
dapat dilakukan. Dengan makna pertama ini, maka
pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah
agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang
terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan. Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari
prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan
peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman,
waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja
hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits
Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim
membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang
lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat
:34, dan an Naml: 125) Semangat kerja yang ihsan
ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan
kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT. 4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal) Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an
meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya,
yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari
hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77,
al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69). Mujahadah dalam maknanya yang
luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”,
yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan
setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta
optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan
fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’,
yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim:
32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya
gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai. Bermujahadah atau bekerja dengan
semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam
rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya
pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133). 5. Tanafus dan Ta’awun
(Berkompetisi dan Tolong-menolong) Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya
menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita
dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau
perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah
kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula
perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu
sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan
infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera
bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula
dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat
kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin:
22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab
yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al
Hujurat: 13). Semua
ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja. Oleh karena dasar semangat dalam
kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih,
maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan.
Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek
kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal
dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga
orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih
baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih
saudaranya. 6. Memperhatikan Nilai
Waktu Waktu adalah sumpah Allah dalam
beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk
yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam
pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan
dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu
sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak. Mengutip al-Qardhawi dalam
bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri,
maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk
hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya
yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu
niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang
berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu
saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan. Jika kita melihat mengenai kaitan
waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar
bin Khatthab kepada Gubernur Abu
Musa al-Asy’ari ra,
sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya
kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau
tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk,
sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua
terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10) Profil seorang muslim adalah
insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku;
perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab;
disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik,
tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk
dirinya sendiri. Kesenangannya
adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka
mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain. Demikian, khutbah singkat ini
semoga Allah memberi rahmat dan barakah menuju kesuksesan hidup di dunia dan
akhirat.
By ZUKRA_SMPN3PPU | At 18.16 | Label : | 0 Comments
Takwalah
bekal hidup yang menuju kepada Syurga, kebahagian dan kedamaiann hidup
didunia dan akhirat. Khutbah jumat pada kesempatan ini, tema sentral kita
memacu diri menjadi mukmin yang sebenar-benarnya . QS. Al Anfal : 4
أولئك هم المؤمنون حقا
لهم درجات عند ربهم ومغفرة ورزق كريم
Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh
beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat)
yang mulia.
Hadits Nabi SAW :
r9~æ lqjfBUãkfAoi kfBUãdä] kfA pu~fQufeã2I,neãdä]
unQ ufeã ûtmäi
=.soi =-ätUp umäBfæp
Setiap muslim harus
memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa :
1. Tauhid kepada Allah
Subhanahu Wata'ala yang benar,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
[112:1] Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
اللَّهُ الصَّمَدُ
[112:2] Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
[112:3] Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً
أَحَدٌ
[112:4] dan tidak ada seorangpun yang setara dengan
Dia".
[4:136] Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah
turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian,
maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.
Kaum
muslimin hendaknya menjadikan imandan tauhidsebagai
sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan
tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan
khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala
[4:48] Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
[2:105]
Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan
siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah
mempunyai karunia yang besar.
2. Ikhlas,
Ikhlas inilah tolok ukur ibadah dan perilaku hidup seorang muslim
[98:5] Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
[39:11] Katakanlah:
"Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ
أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ
[39:12] Dan aku
diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri"
3. Tawadlu/tunduk
Kaum mukminin mengelola hatinya dengan ketundukkan sehingga
terpancar sebagai lbad ar-rahmanyang
menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan
muhsin yang paripurna.
[25:63] Dan
hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di
atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
[25:67] Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.
[25:68] Dan orang-orang
yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat
(pembalasan) dosa(nya),
[25:70] kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
[25:72] Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
[25:73] Dan
orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.
[25:74] Dan orang
orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
[25:75] Mereka
itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena
kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di
dalamnya,
[25:77] Katakanlah
(kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan
kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu
sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)".